Diposkan pada Uncategorized

Guru: Bukan Calon TBC Tapi Profesi yang Not Only Story, But Also History

SM-3T? Mendengar namanya saja yang terlintas di benakku adalah sebuah program khusus untuk para lulusan sarjana pendidikan yang belum mendapat pekerjaan atau yang sudah bekerja, namun gaji yang diperolehnya kurang memuaskan. Tahun lalu, saat kakak tingkat mengikuti program ini banyak pertanyaan yang muncul di benakku. Salah satunya adalah, mengapa mereka memutuskan untuk ke daerah terpencil? Apa mungkin tidak ada pekerjaan di Bandung, atau di daerah asal mereka? Impian ke luar negeri itu membutakan mata hati ini. Padahal, saat masih di bangku SD setiap orang yang bertanya apa cita-citaku? Kujawab selalu dengan tegas, GURU! Itulah efek positif dari televisi yang saat itu dirasakan langsung oleh seorang bocah berusia 10 tahun. Akibat melihat salah satu tayangan iklan seorang guru yang mengajar di dalam hutan, yang kemudian kukenal sebagai Mbak Butet Manurung. Gurunya anak Suku Rimba di Jambi sana.

Namun di tahun ini, ketika program pemerintah SM-3T (Sarjana mendidik di daerah terluar, terdepan, dan tertinggal) ini kembali dibuka malah aku coba-coba mengisi formulir. Jujur, aku sangat senang mengisi formulir kosong. Tanpa disangka malah lolos, hingga tahap dua yang bertepatan dengan gagalnya beasiswa S2 Turki. Dukungan ibu dan keluarga yang sangat besar memaksaku memantapkan hati untuk terus mengikuti seleksi. Sampai akhirnya aku dinyatakan lolos tahap demi tahap, dan tertulis daerah penempatanku di Aceh. Daerah yang terkenal pernah mengalami konflik, masalah GAM, dan tsunami. Jujur pada saat itu, terus menerus aku menanyakan keadilan Allah yang malah menjebloskanku ke daerah terpencil.

Seperti sebuah pelipur lara, sahabat terbaik sekaligus rival terberatku, Winda Yulia pun ternyata ikut serta dalam program SM-3T tahun ini. Kami bersahabat akrab, meskipun berbeda jurusan. Kadang aku bertanya IP dia tiap semester, begitupun sebaliknya. Seolah saling panas memanasi, tapi masih dalam konteks yang positif. Meskipun kami satu program beasiswa, namun asli harus kuakui otaknya luar biasa jenius. Dia tidak hanya mendapat IP 4,00 tiap semester. IP yang diperolehnya bisa dia pertanggungjawabkan. Sehingga aku hampir tak percaya ketika kami akan tes online bareng. Dia hanya berbicara dengan santainya,

“Hei, Vi. Naha kudu heran? Ayeunamah kita pokona mengabdi heula. Gampang jadi dosen mah.” Aku hanya tersenyum.”Ek kaluar negeri, gampang. Tapi aku mah tetep Insya Allah S2 di UPI deui.”

Kata-kata dia sesaat menjelang tes online membuatku semangat luar biasa. Persepsi awal yang kubangun jelas-jelas kurasa salah. Seorang Winda, yang selalu mendapat nilai sempurna di setiap semesternya ternyata ikut di program ini. Agak sedikit terhibur hati ini. Apalagi kami berada di daerah yang sama, Kabupaten Aceh Timur. Kami pun menuliskan semua rencana hidup ke depan. Dia goreskan tinta dengan mantap: 2012-2013 Mengabdi di Aceh; 2014 PPG; 2015 Melakukan pengabdian kembali menjadi guru professional/ Melanjutkan kuliah S2. Kami saat itu sama-sama berjanji untuk bisa S2. Cita-citanya kembali akan S2 di UPI dengan mengejar beasiswa Unggulan Dikti.

Tak bisa kami pungkiri, sesaat sebelum berangkat ke Aceh banyak pikiran negatif datang. Aceh kan daerah yang banyak GAM nya? Di sana kan banyak ditanam ganja? Pokoknya waktu itu kami berpikir Aceh itu menakutkan. Namun akhirnya kami tetap pergi berangkat. Dengan bekal satu koper, dan satu ransel aku pun pergi ke sana. Dan tahukah kalian? Jauh dari apa yang aku pikirkan. Aku mendapat tempat tugas di SMA Negeri 1 Indra Makmu. Satu-satunya SMA di kecamatan ini. Sangat kontras dengan apa yang didapatkan Winda. Dia mendapat tugas di SMP Simpang Jernih. Tapi itu sesuai dengan keinginannya. Ya, saat prakondisi dia sering bercerita padaku ingin mendapat tempat tugas dekat sungai daripada gunung. Kabarnya di sana sulit sinyal, listrik, dan kamar mandi.

Rasa syukur tak terkira ketika mendapatkan penempatan di SMA itu. Jujur, aku tidak setangguh teman-teman lainnya. Mungkin karena itulah Allah memberikan tempat yang cukup nyaman padaku. Namun untuk masuk ke kecamatan itu, ternyata aku harus melewati jalan setapak yang masih dikategorikan seperti hutan. Untuk mencapai kecamatan, perlu naik ojeg sampai satu jam. Perasaan was-was tidak bisa aku pungkiri. Takut tukang ojegnya jahat, takut ada yang mencegat, dan ketakutan lainnya. Apalagi baru pertamakali untuk naik ke tempat tugas, tanpa ditemani kepala sekolah pula. Hanya keyakinan dan doa yang saat itu aku andalkan.

Siapa sangka dari jalan yang terlihat seperti hutan, di dalamnya ada kehidupan. Memang jauh berbeda dengan yang selama ini kurasakan di Jawa barat. Di mana-mana terlihat sawit, karet, jalanan yang rusak, jembatan yang tidak bisa dibilang sebagai jembatan, sampai monyet-monyet yang bergelantungan di pohon. Ternyata di pusat kecamatan sangatlah ramai. Aku tinggal di sana, dekat dengan pajak atau yang kita kenal sebagai pasar, bank, puskesmas, SPBU, dan kantor polisi. Tak hanya di situ keherananku. Sekolah tempatku bertugas, yang kupikir harus dicapai dengan jalan kaki berkilo-kilo, sepatu dipegang, rok diangkat, dan jalanan jelek tidak kutemui sama sekali. Bahkan sepatu boat untuk berjaga-jaga berjalan jauh pun tak akan kupakai. Bayangkan, di sana semua menggunakan kereta atau bahasa kita adalah motor. Jalan kaki dianggap hal yang tabu. Aku semakin heran, sekolahku bertugas nanti memiliki rombongan kelas yang sangat besar, 15 kelas. PNS yang mengajar pun sangat banyak. Total semua guru ada sekitar 40 orang. Penampilan mereka pun lebih mantap. Dengan tas bermerk, sepatu yang lumayan harganya, dan aksesoris lainnya. Sampai-sampai aku dan teman SM-3T dari Unimed merasa kami kalah dalam hal penampilan. Karena jujur, saat aku berangkat untuk apa membawa sepatu, tas, ataupun barang bermahal lainnya. Toh kami akan bertugas di tempat yang sangat terpencil, itulah pikiranku. Hatiku bertanya kembali mengapa sekolah ini masih mendapat kiriman guru SM-3T?

Pertanyaanku pun terjawab. Terpencil dan tertinggal bukan hanya kategori untuk tempat yang sangat jauh, berada di hutan, dan sekolah yang hampir rubuh. Namun bagaimana pola pikir siswa dan guru yang selama ini ada. Ternyata siswa di sekolah memiliki motivasi yang sangat rendah untuk belajar. Mereka selalu merasa tidak mampu, lebih senang mencari uang dengan bekerja di ladang atau pajak, dan banyak meremhkan para gurunya. Sedangkan gurunya kebanyakan langsung menghakimi bahwa siswa tidak bisa, bodoh, dan kadang main cubit atau pukul. Sehingga terlihat iklim yang tidak terlalu baik. Dari sanalah muncul pikiranku, mungkin dengan dikirimkannya para guru SM-3T ke daerah ini bisa sedikitnya mengubah iklim itu. Namun begitu, jujur atmosfir pengabdian di daerah ini agak kurang. Karena fasilitasnya yang cukup lengkap. Hanya saja masalah yang kuhadapi saat itu untuk mengoptimalkan fasilitas lengkap yang tidak pernah termanfaatkan. Seperti laboratorium untuk praktikum. Tempat tugasku memiliki peralatan lengkap, bahkan masih ada yang tersusun rapi di dalam dus dengan lakban masih menempel. Namun begitu, aku tetap berusaha untuk bisa memberikan setidaknya sebisa mungkin mengabdi di sekolah ini. Dengan menikmati hari-hari di tempat tugas, lambat laun aku pun merasa betah.

menuju temapt tugas Dokumentasi: Pribadi
menuju temapt tugas
Dokumentasi: Pribadi

Sampai akhirnya musibah itu terjadi. Tepat di hari guru, aku mendapat kabar yang tidak bisa kupercayai. Musibah yang dialami sahabatku sekaligus saudaraku tak bisa kupercayai. Padahal malam harinya dia masih menelpon dan cerita panjang lebar. Bahkan, aku sempat bercanda padanya supaya tidak konser saat tidur. Dia hanya menjawab dengan santai, besok-besok dia tidak akan konser, dia akan tidur tenang menjadi sebuah isyarat bahwa pada tanggal 29 November 2012 tepat pada hari ulang tahunku, Dia pergi terlebih dahulu pada Allah swt. Jika dulu dia mengucapkan selamat milad padaku, yang kutemui saat ini sosok pahlawan pendidikan yang terbujur kaku sesaat menunaikan tanggung jawabnya yang luar biasa ke tempat tugas. Saat itu hampir hilang semangat pengabdianku, padahal sama sekali belum ada program apapun yang kulakukan selain mengajar dan Pramuka. Namun beberapa hari kemudian, seperti sebuah teguran dating padaku. Jangan berlarut dalam kesedihan. Allah mempunyai rencana terbaiknya. Tetap jalani kehidupan, jangan mengeluh, dan jadilah orang yang bermanfaat.

Akhirnya, terinspirasi dari tetehku yang juga guru SM-3T di Aceh Teh Rina Nuraeni, kubuat sebuah program nekad. Dengan landasan kurangnya motivasi membaca siswa terhadap pelajaran dan buku-buku yang berkualitas, kuajukan sebuah proposal dengan judul “Gerakan Cinta Anak Negeri” dengan harapan sekolah dapat mendapat bantuan buku berkualitas baik dalam buku pelajaran maupun buku fiksinya. Beberapa postingan terus kukerjakan. Tiap minggu masih belum ada tanggapan. Sampai akhirnya, salah seorang alumni IKIP yang juga merupakan salah seorang dosen kimia di Unnes Pak Cepi Kurniawan menanggapi postingan-ku. Kebetulan beliau sedang berada di Jepang, sehingga proposalku beliau presentasikan di sana. Akhirnya donator pertama yang kuperoleh yaitu dari PPI Ibaraki Jepang. Tepat tanggal 14 Januari 2013, akhirnya mentari ini lambat laun bersinar setelah sebelumnya menghadapi malam yang kelam. Seperti kemala yang mengalahkan balam dan kabut di pagi hari. Pada hari yang sama pula, sahbatku di MA negeri Cibadak tanpa diduga mentransfer uang juga untuk bantuan buku tersebut. Kemudian teman-teman kuliah teteh di STIS, angkatan 49 mnetransfer juga sejumlah uang yang merupakan sisa uang kas mereka. Luar biasa saat itu, harapan dalam dada ini terus bergejolak. Meskipun baru bisa satu kardus buku dibeli, aku yakin suatu hari perpustakaan di SMAN 1 Indra Makmu ini akan semakin penuh dengan koleksi buku bermanfaat. Sehingga berlian-berlian di SMA ini dapat lebih termotivasi lagi untuk bisa lebih baik. Mudah-mudahan program lainnya bisa berjalan dengan lancar juga.

Salah Satu Donasi Dari PPI Ibaraki, Jepang Dokumentasi: Pribadi
Salah Satu Donasi Dari PPI Ibaraki, Jepang
Dokumentasi: Pribadi

Tidak terasa setahun aku berada di Aceh. Semakin berada di daerah terpencil ini semakin mengerti dan mencari tahu apa yang direncanakan Allah padaku. Seakan Allah menegurku untuk mengingat kembali mengapa aku ingin jadi guru? Bukan karena materi yang dikejar, bukan karena penghargaan dari masyarakat yang nanti diterima, namun mengajar adalah panggilan hatiku sejak kecil dulu. Panggilan hati untuk mengabdi, memberi pendidikan berkualitas secara merata dan menemukan berlian-berlian terpendam di daerah terpencil. Ini merupakan tugas berat yang harus kujawab. Meskipun untuk berangkat ke sekolah, kami harus melewati jembatan yang dapat dikatakan dikatakan tidak layak, dan jalanan yang cukup licin jika hujan. Bahkan tidak jarang saat hujan lebat, jalanan menjadi banjir dan tidak dapat lewat. Ternyata Allah Maha baik. Mengingatkanku melalui caranya tersendiri. Mengajar bukan berarti mengejar materi. Namun bagaimana kepuasaan batin saat melihat para anak-anakku paham apa yang kita ajarkan, termotivasi untuk melakukan, dan dapat bermimpi setinggi-tingginya untuk cita-citanya. Saya teringat pesan ibu dan Winda, hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya.  Setidaknya ada beberapa pelajaran berharga yang bisa kuambil. Jika banyak dari para fresh graduate yang mengambil S2 itu biasa. Namun yang berani untuk terjun ke daerah terpencil, dengan mengikuti program SM-3T ini masih jarang. Setidaknya yang langsung S2, mereka pasti bisa membuat sebuah cerita (story), namun belum tentu membuat sebuah sejarah (history). Meskipun saya masih sadar, malu jika kita merasa sudah memberikan pengabdian kepada mereka di bagian terpelosok Indonesia. Padahal apa yang kita lakukan masih sangat kecil.

Karena pada dasarnya, profesi di dunia ini ada dua. Profesi guru, dan bukan guru. Mengapa guru seolah mendapatkan tempat yang sangat spesial? Karena profesi guru sangat berbeda. Selain mendapatkan gajidari profesi yang diembannya, in sya Allah di akhirat pun akan ada pahala yang disiapkan Allah, karena doa-doa yang sering dilantunkan oleh para muridnya. Jika dulu guru dianggap sebagai profesi yang masa depannya akan menjadi calon TBC karena anggapan gajinya yang begitu kecil, sudah seharusnya persepsi itu dihilangkan. Karena profesi guru adalah profesi mulia yang tidak hanya membuat sebuah cerita pengabdian tapi bagaimanan mengukir sejarah mencetak generasi emas bangsa, Indonesia khususnya untuk ke depannya.

Karena mereka butuh kita, wahai para pendidik! Dokumentasi: Pribadi
Karena mereka butuh kita, wahai para pendidik!
Dokumentasi: Pribadi

 

Penulis:

Hello, Assalamualaikum. My name is Novianti Islahiah. Full time mom, full time student. I am graduate student in Hiroshima University at educational development, under Shimizu sensei supervision (Science education lab). I continue my master study here with scholarship from my government, Indonesia Endowment Fund for Education (LPDP). My undergraduate university is Indonesia University of Education as known as UPI, Bandung. My the best experience in teaching when I was in East Aceh along 1 year, to become SM-3T teacher in remote area. Now, I am a married woman with Mr. Rizal, and we have one son, Muhammad Afnan Hashif. His age is 17 months. Be happy always :)

9 tanggapan untuk “Guru: Bukan Calon TBC Tapi Profesi yang Not Only Story, But Also History

Tinggalkan komentar