Diposkan pada Haji, Jepang, Memories, Travelling, Uncategorized

Satu Kisah di Masjidil Haram: Masmuki?

Assalamualaikum…

Alhamdulillah di Sabtu sore ini kembali menyempatkan diri untuk berbagi kisah yang tidak ada henti-hentinya untuk diceritakan. Setelah berkutat dengan adonan donat yang alhamdulillah sukses, teringat masih punya PR di Sabtu ini. In sya Allah untuk episode  #CollaborativeBlogging pekan ini masih bercerita tentang kisah di masjidil Haram. Ini dia cerita saya saat beristirahat di sela-sela waktu salat.

Biasanya saat tiba di masjid, suami akan memastikan dulu di mana posisi saya salat agar mudah nantinya saat usai salat untuk berjumpa. Tapi kadangkala, kami pun memutuskan untuk berdiam di masjid agak lama untuk mengisi waktu dengan thawaf sunnah ataupun mengaji.

IMG_9023
Di depan masjidil Haram, menuju penginapan. Dokumentasi: Pribadi

Saat itu saya dan suami seperti biasa memutuskan untuk salat di lantai dasar, di bagian Ismail gate yang memang jadi tempat favorit suami untuk langsung melihat ka’bah. Usai waktu dzuhur kami berdua langsung mencari posisi di sekitaran ka’bah. Untuk para laki-laki sangat diperbolehkan untuk mengisi shaf awal di depan ka’bah. Namun bagi para wanita, kami sedikit mundur ke belakang. Saat itu menjelang waktu ashar, tempat di lantai dasar ini sudah sangat penuh. Saya berusaha mencari-cari celah utmuk saya bisa ikut nyempil. Alhamdulillah akhirnya saya dapat tempat di sebelah orang India dan Pakistan.

Mulailah percakapan kami dimulai. Percakapan yanh menggunakan bahasa tubuh pada awalnya, karena orang India yang ada di sebelah saya tidak bisa berbahasa Inggris. Namun tetap kami sama-sama tersenyum. Inilah indahnya islam, indahnya ukhuwah. Tidak saling mengerti bahasa tapi tetap merasakan indahnya persaudaraan.

Sementara di sebelah saya lagi ada orang Pakistan. Alhamdulillah beliau berbahasa Inggris sangat baik. Pada mulanya wanita berusia sekitar 60 tahunan itulah yang pertama mengajak mengobrol, karena tertarik dengan rompi berbendera Jepang yang saya pakai. Dia sempat kaget karena ada warga Jepang yang berhaji. Akhirnya saya pun menjelaskan saya adalah orang Indonesia yang sedang belajar di Jepang, dan saya berhaji dari sana. Ternyata beliau pun sama dengan saya. Beliau adalah orang Pakistan yang sudah hampir 5 tahun berada di London. Sehingga beliau berhaji dari London. Beliau sangat bersyukur karena bisa salat dengan menghadap ka’bah langsung. “This is the best spot,” ujarnya. Dan beliau pun memberikan buah zaitun. “This is for you, alhamdulillah.”

Ya, biasanya sambil menunggu waktu salat para jamaah haji dan umrah akan mengisi waktunya masing-masing. Kadangkala kita akan bertemu banyak orang dari berbagai negara. Kalau kata suami, bukan perempatan Shibuya atau Tokyo station yang penuh sesak orang. Tapi di sinilah, di tanah haram ini begitu banyak orang datang dari berbagai penjuru negeri. Sebagaimana yang difirmankan Allah dalam Kalam-Nya.

وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ﴿٢٧

“Dan umumkanlah kepada manusia untuk mengerjakan haji! Niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.”

Wah, Mba Nurin Pekan ini cerita apa ya tentang  Masjidil Haramnya? Yuk simak di sini...

Haji reguler indonesia vs kuota jepang

Satu kisah menarik lainnya adalah saat ba’da subuh. Saat itu kembali saya berdampingan dengan orang non Indonesia. Masya Allah benar-benar jadi pengalaman berharga. Dan kali ini bertemu mishriyyah alias orang Mesir. Bagi mereka bahasa Arab sudah jadi santapan sehari-hari, namun untuk berbahasa Inggris kebanyakan para lansianya kurang lancar. Inilah cerita saya yang berusaha kembali mengingat pelajaran bahasa Arab semasa tsanawiyyah dan aliyah. Alhamdulillah masih agak lancar, meskipun banyaknya menebk beberapa kalimat yang sangat cepat diucapkan ibu tersebut.

“Masmuki?” Tanya ibu tersebut.

“Ismii Novi, ya sayyidah…” Jawabku sambil tersenyum. Beliau saat itu dalam posisi baringan, mungkin agak pegal dan saya sedang membuka mushaf.

“Min aina taskun?” Lanjutnya, dan sepertinya ini akan menjadi percakapan panjang di pagi ini.

“Yabaan…” Jawabku, karena memang saya datang dan tinggal di Jepang untuk sekarang. “Bal ana alinduunisiyyah…” Lanjutku menjelaskan.

“Tilmiidzaah?” Tanyanya kembali.

“Na’am.” Sahutku.

Kemudian dengan bahasa arab agak cepat dia meminta saya untuk membaca qur’an yang sedang saya pegang dan dia ingin mendengarkan. Saya menangkap kata-kata iqra-ii…dan asma’u darinya, jadi saya yakin 100% ibu ini ingin mendengar saya membaca qur’an. Ya Allah deg-degan membaca ayatullah di depan orang yang berbahasa Arab fasih seperti ini.

Bismillah…

Saya lantunkan surat Al-ahzab ayat 37 saat itu nerusin hanca kalau kata orang Sunda.

Beberapa kali bacaan saya dikoreksi tajwidnya. Ya Allah, masih harus banyak belajar tahsin ini. Dan di akhir beliau bertanya asbabun nuzul ayat tersebut. Saya hanya tersenyum dan tidak sempat membaca terjemah dan keterangan tafsirnya. Saya coba intip…curi-curi cek cek cek Ups malah nyanyi iklan salah satu pencuci muka 😀 

Beliau pun menjelaskan tentang kisah Zainab binti Jahsy yang setelah ditalak Zaid kemudian dinikahi oleh Rasul. Dikisahkan bahwa pernikahan tersebut bukan semata karena cinta. Rasulullah menikahi Zainab untuk menghapuskan tradisi pengangkatan anak yang berlaku pada zaman jahiliah. Zaid yang merupakan mantan suami Zainab adalah anak angkat Rasul.

Dan ternyata apa yang dijelaskan ibu tadi memang ada keterangannya di catatan kaki mushaf saya. Masya Allah…saya semakin malu, masih banyak yang saya tidak tahu tentang alqur’an ini. Masih banyak diri ini disibukkan dengan kehidupan duniawi. Astaghfirullah…

Ibu itu pun bercerita bahwa namanya adalah Fatimah. Beliau sempat heran nama saya adalah Novi, yang tidak ada dalam alqur’an, ya Allah lagi-lagi malu sama ibu ini. Tapi nama belakang saya islami kok bu…Islahiah 😀

Dia pun bercerita anaknya adalah seorang ustadz di Alazhar University… Masya Allah 😀 pingin ke sana ya Allah, inget syuting KCB eh…

Akhirnya karena saya masih harus berkegiatan lainnya dan menghindar juga takut ditanya pakai bahasa Arab yang lebih sulit, saya pun pamit untuk pergi.

“Al-an, adzhab ilal baab..” Saya pamit. Dia pun membalas dengan senyuman dan mengatakan bersyukur dengan pertemuan indah ini, “Sa’iid… ilaa liqaaina.” Belia bahagia dan senang bertemu saya 😀 alhamdulillah, bertemu saudara dari negara lain lagi. Saya pun berpikir untuk menjawab saya juga…apa ya. Oh iya, “Ana aidhon…” 

Saya pun pamit, “Ma’assalamah…” Beliau pun membalas, “illalliqa…”

Dan saya pun menutup dengan salam.

Begitu banyak pelajaran dan hikmah setiap detiknya yang saya temui saat berhaji kemarin. Pelajaran dari orang yang bersedekah tanpa mengenal nama dan identitas negara, cukup dengan senyuman mereka membagikan makanan. Pelajaran tentang bagaimana diri ini sudah seharusnya mempelajari alqur’an jauh lebih banyak porsi belajarnya ketimbang pelajaran duniawi. Pelajaran tentang saling berbagi sajadah, shaf salat dan masih banyak lainnya. Ya Allah aku rindu, untuk kembali ke tanah Haram. Izinkan aku untuk kembali ke sana…:D